Salah satu kunci meraih kesuksesan hidup dunia akherat adalah dengan melakukan muhasabah diri. Intropeksi dan evaluasi terhadap dirinya sendiri. Berikut hal terkait dengan kehidupan kesuksesan hidup orang Islam seperti yang dilansir dari website dakwatuna.com
Hadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing perencanaan untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi di alam akherat kelak.
Karena Orang Sukses adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang “rela” mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, “kebahagiaan kehidupan ukhrawi.”
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan.
Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah.
Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat.
Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan “orang yang lemah”, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya.
Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, “berangan-angan terhadap Allah.” Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut : Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.