Belakangan, wisata religi menjadi tren baru yang digandrungi banyak orang. Entah siapa yamg membuat dan mempopulerkan istilah itu, yang jelas secara tiba-tiba istilah “wisata religi” menjadi semacam kesepakatan yang tak terkatakan (ijmak sukûtiy), yang diakui berbagai kalangan, mulai dari para penyedia armada wisata, pengelola kawasan ziarah wali, tokoh-tokoh masyarakat, dan masyarakat umum, baik pedesaan maupun perkotaan.

Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan wisata religi itu? Dari penamaan ini, tampak jelas bagi kita bahwa wisata ini dimaksudkan untuk memperkaya wawasan keagamaan dan memperdalam rasa spiritual kita. Karena bagaimanapun, ini adalah perjalanan keagamaan yang ditujukan untuk memenuhi dahaga spiritual, agar jiwa yang kering kembali basah oleh hikmah-hikmah religi. Jadi ini bukan wisata biasa yang hanya dimaksudkan untuk bersenang-senang, menghilangkan kepenatan pikiran, semacam dengan pergi ke tempat hiburan.

Dengan demikian, maka semestinya tujuan wisata religi tidaklah sempit, namun memiliki cakupan yang sangat luas, dan sifatnya cukup personal. Artinya tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata religi tidak terbatas pada makam-makam para wali saja, namun mencakup setiap tempat yang bisa menggairahkan cita rasa religiusitas kita, atau bisa menyegarkan dahaga spiritual kita, baik itu pemakaman para wali, museum-museum kesejarahan Islam, tempat-tempat bersejarah, atau tempat apapun yang bisa menyampaikan kita pada tujuan yang dikehendaki dalam wisata religi itu. Tergantung kecendrungan kejiwaan masing-masing orang.

Namun sebagaimana diketahui secara umum, bahwa pada tataran praktis, masyarakat memahami dan menjalani wisata religi ini hanya dengan cara berziarah dan mengunjungi makam-makam para wali saja, baik wali songo maupun yang lain. Tentu saja ini telalu sempit untuk menjelaskan wisata religi dalam tataran praktis.

Lalu apakah wisata religi dengan mengunjungi makam para wali ini tidak tepat sasaran? Tentu saja tidak demikian. Namun pertanyaannya adalah, apakah ziarah wali yang dilakukan selama ini sudah memenuhi maksud dan tujuan yang semestinya wisata religi itu?

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi disebutkan, bahwa Nabi bersabda yang artinya,”Aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun sekarang, lakukanlah ziarah kubur itu. Karena hal itu bisa mengingatkan kalian pada akhirat.” Dalam Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Thabrani dicantumkan Hadis yang artinya, “aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun sekarang, lakukanlah ziarah kubur itu. Karena dalam ziarah kubur itu terdapat ibrah.”

Jadi, apakah selama ini tampak jelas bagi kita bahwa tujuan ziarah kubur ini telah tercapai dalam wisata religi yang kita jalani, sesuai dengan tujuan yang direkomendasikan dalam Hadis di atas? Adakah para peserta wisata religi mengingat akhirat pada saat berkunjung ke ziarah wali, dan mengalami peningkatan spiritual setelah ziarah itu? Dan seberapa banyak ibrah atau pelajaran yang diambil dari mengunjungi makam para wali itu?

Sepintas, tanpa melihat masing-masing person peserta wisata religi, dari tampilan luar kita melihat tujuan ini masih belum tercapai. Tampaknya wisata ke makam para wali masih sebatas dijalani sebagai perjalanan biasa, untuk sekedar ingin tahu, atau untuk memenuhi hajat duniawi, ngalap barakah dengan meletakkan botol air mineral di sekeliling makam, dan semacamnya, dan sepertinya belum ada ibrah apapun yang didapat dari kunjungan wisata religi ini, yang bisa membuat lebih dekat kepada Allah, ingat mati, takut akan siksa kubur dan siksa neraka.

Buktinya, rata-rata keadaan peserta wisata religi tak mengalami perubahan apapun dari sebelum menjalanin perjalanan spiritual ini. Bahkan banyak yang ketika berada di sekitar makam para wali tidak mengaji dan tidak membaca doa apapun, namun hanya berkeliling di lokasi itu, berpose ria kesana kemari, berbelanja ini dan itu, hanya makan-makan, hanya cengar-cengir dan cengengesan, menikmati keunikan budaya lokal, dan semacamnya.

Bahkan, kini rata-rata lokasi makam para wali lebih mengesankan lokasi pasar ketimbang lokasi pemakaman, sehingga suasana ini jelas sangat berpengaruh terhadap suasana kejiwaan dan rasa yang ditangkap oleh para pengunjung. Padahal dalam wisata religi, mestinya suasana kejiwaan dan kesan spiritual sangat penting. Maka dari itu wajar jika di sini mereka tak menangkap suasana sakral sama sekali. Lalu bagaimana bisa para pengunjung akan mengingat akhirat, berpikir tentang kematian, dan mengambil pelajaran dari orang yang sudah meninggal?

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa betapapun tren wisata religi yang tengah berkembang dewasa ini adalah baik, namun bukan berarti ini telah benar-benar sejalan dengan semestinya. Karena itu, tradisi ini masih harus menjalani proses yang cukup panjang, dan memerlukan perbaikan-perbaikan dan koreksi, agar bisa sesuai dengan tujuan wisata religi yang sebenarnya. Untuk itu, berbagai elemen masyarakat yang terlibat perlu melakukan pembenahan-pembenahan, baik pihak yang menangani tempat tujuan wisata religi maupun pihak yang mengunjunginya.

Di sini penulis mengajukan sedikit usulan, bahwa alangkah sebaiknya jika dalam wisata religi ini pembimbing atau ketua rombongan tidak hanya mengantar peserta rombongan ke lokasi makam, dan bahkan tidak hanya sekedar memimpin bacaan tahlil, akan tetapi ketua rombongan berperan semacam pembimbing jamaah haji.

Jadi di sini, sebelumnya ketua rombongan juga perlu menerangkan apa tujuan sebenarnya ke makam para wali ini, kenapa kita perlu ziarah, dan seterusnya. Saat di lokasi makam wali, ia juga perlu menerangkan sekilas tentang perjuangan dakwah wali bersangkutan, sejarahnya, rintangan-rintangan yang dihadapinya, dan seterusnya. Setelah itu, ia juga perlu menerangkan kepada rombongan mengenai hikmah apa yang bisa dipetik dari perjalanan ziarah wali ini, serta apa saja yang perlu dilakukan oleh peserta ziarah setelah melakukan perjalanan ini.

Dengan demikian, tentu akan ada sesuatu yang berbeda yang bisa ditangkap dan dirasakan oleh para peserta ziarah wali atau wisata religi ini, baik pada saat mereka berangkat, ketika berada di lokasi, maupun setelah usai dari perjalanan ini. Karena perjalanan religi hanya bisa berarti jika si pelaku sudah memahami arti yang dikehendaki.

*) Sumber tulisan : Buletin Sidogiri,
Edisi-82, hal.14-16, Rajab, 1434