Ibadah adalah perkara tauqifiyah. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” (HR. Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia berdosa karenanya. Sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan taat.
Kemudian manhaj (jalan) yang benar dalam melaksanakan ibadah yang disyari’atkan adalah sikap pertengahan. Tidak meremehkan dan malas, serta tidak dengan sikap ekstrim dan melampaui batas.
Allah berfirman kepada Nabi-Nya , “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. Hud: 112)
Ayat Al-Qur’an ini adalah garis petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah.Yaitu dengan ber-istiqomah dalam melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau lebih, sesuai dengan petunjuk syari’at (sebagaimana yang diperintahkan).
Kemudian pada akhir ayat, Allah menegaskan lagi dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu melampaui batas.”
Tughyan adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta megada-ada.Ia lebih dikenal dengan ghuluw. Ketika Rasulullah mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam ibadah, dimana seorang dari mereka berkata, “Saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka”, yang kedua berkata, “Saya akan shalat terus dan tidak tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita”, maka beliau bersabda, “Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barang siapa tidak menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku.” (HR. Bukhari no. 4675 dan Muslim no. 2487)
Ada 2 golongan yang saling bertentangan dalam soal ibadah :
- Golongan pertama: Yang mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syi’ar-syi’ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Menurut mereka tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, juga tidak dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.
Memang masjid mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid. - Golongan kedua: Yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada batas ekstrim, yang sunnah sampai mereka angkat menjadi wajib, sebagaimana yang mubah (boleh) mereka angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi jalan (manhaj) mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya.
Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid’ah.